Illegal Logging di Indonesia

|

Latar Belakang

Permasalahan illegal logging (pembalakan liar) tidak pernah selesai dibicarakan. Dari tahun ke tahun isu tersebut justru semakin memanas, karena penyelesaiannya tak kunjung mencapai titik temu. Seperti fenomena gunung es, kasus yang mencuat ke permukaan hanyalah sebagian kecil dari praktik pembalakan liar yang melibatkan masyarakat, korporat, aparat, dan pejabat. Kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya, kemudian menyebabkan bencana alam dan bencana ekonomi yang berkesinambungan. Sampai sejauh ini, tidak ada satupun peraturan perundangan memberikan pengertian (definisi) resmi terhadap Illegal logging, padahal pengertian sehingga menjadi sangat penting untuk memberikan batasan terhadap tindakan-tindakan apa yang termasuk kedalam lingkup Illegal logging. Disinilah salah satu titik masuk yang menyebabkan operasi pemberantasan Illegal logging cendrung mengenai masyarakat.
Kerusakan hutan bertambah ketika penebangan liar, marak terjadi. Penebangan liar telah merusak segalanya, mulai dari ekosistem hutan sampai perdagangan kayu hutan. Karena hanya dibebani ongkos tebang, tingginya penebangan liar juga membuat harga kayu rusak. Persaingan harga kemudian membuat banyak industri kayu resmi terpaksa gulung tikar. Selain itu, lemahnya pengawasan lapangan penebangan resmi juga memberi andil tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia.



I. Pengertian Illegal Logging

Permasalahan illegal logging (pembalakan liar) tidak pernah selesai dibicarakan. Dari tahun ke tahun isu tersebut justru semakin memanas, karena penyelesaiannya tak kunjung mencapai titik temu. Seperti fenomena gunung es, kasus yang mencuat ke permukaan hanyalah sebagian kecil dari praktik pembalakan liar yang melibatkan masyarakat, korporat, aparat, dan pejabat. Kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya, kemudian menyebabkan bencana alam dan bencana ekonomi yang berkesinambungan. Sampai sejauh ini, tidak ada satupun peraturan perundangan memberikan pengertian (definisi) resmi terhadap Illegal logging, padahal pengertian sehingga menjadi sangat penting untuk memberikan batasan terhadap tindakan-tindakan apa yang termasuk kedalam lingkup Illegal logging. Disinilah salah satu titik masuk yang menyebabkan operasi pemberantasan Illegal logging cendrung mengenai masyarakat.

Illegal Logging berdasarkan terminologi berasal dari 2 (dua) suku kata, yaitu illegal berarti perbuatan yang tidak sah (melanggar), sedangkan logging berarti kegiatan pembalakan kayu sehingga illegal logging diartikan sebagai perbuatan/kegiatan pembalakan kayu yang tidak sah. Kegiatan penebangan hutan terutama untuk kebutuhan domestik, tentulah kegiatan yang sungguh sangat tua, mungkin sudah setua peradaban umat manusia. Pernyataan demikian tentulah tidak dapat dipungkiri, sehingga tidak diperlukan pembuktian-pembuktian.
Disisi lain, ada juga pengertian lain dari kata Illegal Logging. Dalam pendekatan kata-kata, Illegal logging terdiri dari kata Illegal dan Logging. Arti kata Illegaal/onwettig (belanda) adalah tidak syah, tidak menurut undang-undang, gelap, melanggar hokum . Sedangkan onwettig berarti tidak syah, haram, melanggar undang-undang, bertentangan dengan undang-undang . Sementara itu arti kata Logging adalah kegiatan untuk menebang kayu. Maka dalam pendekatan sederhana kita dapat mengartikan Illegal logging sebagai penebangan kayu yang melanggar peraturan perundangan. Sebagian kelompok menyebut Illegal logging dengan kata pembalakan liar, penebangan liar atau penebangan tanpa izin.

II Faktor-Faktor Illegal Logging
Kerusakan hutan bertambah ketika penebangan liar, marak terjadi. Penebangan liar telah merusak segalanya, mulai dari ekosistem hutan sampai perdagangan kayu hutan. Karena hanya dibebani ongkos tebang, tingginya penebangan liar juga membuat harga kayu rusak. Persaingan harga kemudian membuat banyak industri kayu resmi terpaksa gulung tikar. Selain itu, lemahnya pengawasan lapangan penebangan resmi juga memberi andil tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia.
Ada 5 (lima) faktor yang mendorong illegal logging, yaitu:
Krisis ekonomi.
Perubahan tatanan politik.
Lemahnya koordinasi antara aparat penegak hokum.
Praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).
Lemahnya sistem pengamanan hutan dan pengamanan hasil hutan.
Namun faktor yang paling menonjol adalah lemahnya koordinasi antara aparat penegak hukum, mungkin disengaja atau tidak, praktek KKN di jajaran pemerintahan dan lemahnya sistem pengamanan yang dilakukan Polisi Hutan. Sedangkan, faktor penyebab kerusakan hutan itu, meliputi:

Penebangan yang berlebihan disertai pengawasan lapangan yang kurang.
Penebangan liar.
Kebakaran hutan.
Alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian atau pemukiman.

III. Cara-cara Memulihkan Hutan di Indonesia
Hutan di Indonesia bisa dipulihkan dalam waktu 40 tahun. Dengan mengunakan cara:
1. Teknik pemuliaan pohon.
2. Manipulasi lingkungan serta pengendalian hama dan penyakit bisa dilakukan untuk memulihkan kembali hutan di Indonesia.
3. Penanaman hutan secara intensif menjadi pilihan terbaik karena bisa diprediksi. Sehingga, kebutuhan kayu bisa diperhitungkan tanpa harus merusak habitat hutan alam yang masih baik.
Memang, mempertahankan seluruh hutan di Indonesia tidak mungkin. Tetapi paling tidak, 50 persen hutan alam di Indonesia harus tetap dijaga keasliannya. Sisanya, bisa diusahakan menjadi hutan tanaman industri. Menjaga 50 persen hutan alam itu berguna untuk keseimbangan ekosistem, mempertahankan genetik tanaman, dan menjadi sumber tanaman obat serta sumber makanan.

IV. Tujuh Dimensi dari Kegiatan Illegal Logging
“Illegal Logging, suatu malpraktek Bidang Kehutanan”, terdapat 7 (tujuh) dimensi dari kegiatan illegal logging, yaitu:
Perizinan, apabila kegiatan tersebut tidak ada izinnya atau belum ada izinnya atau izin yang telah kadaluarsa.
Praktek, apabila dalam praktek tidak menerapkan logging yang sesuai peraturan.
Lokasi, apabila dilakukan pada lokasi diluar izin, menebang di kawasan konservasi/lindung, atau asal-usul lokasi tidak dapat ditunjukkan.
Produksi kayu, apabila kayunya sembarangan jenis (dilindungi), tidak ada batas diameter, tidak ada identitas asal kayu, tidak ada tanda pengenal perusahaan.
Dokumen, apabila tidak ada dokumen sahnya kayu.
Pelaku, apabila orang-perorang atau badan usaha tidak memegang izin usaha logging atau melakukan kegiatan pelanggaran hukum dibidang kehutanan, dan
Penjualan, apabila pada saat penjualan tidak ada dokumen maupun ciri fisik kayu atau kayu diseludupkan.

V. Siapa yang Bertanggung Jawab Atas Illegal Logging
Praktek illegal logging ibarat virus menular yang terus menyebar ke seluruh sendi kehidupan lapisan masyarakat maupun aparat pemerintah. Banyak aktor yang terlibat dan turut bermain, bahkan menjadi aktor utama. Ironisnya, tidak sedikit pejabat atau institusi yang secara umum terkait dalam tugas kewajiban mengelola hutan malah melibatkan diri dalam praktek illegal logging. Kejahatan illegal logging yang dibangun terintegrasi (integrated) mampu mengelabui masyarakat Indonesia ala kejahatan kerah putih (white-collar crime), sehingga sulit tersentuh (untouchable) oleh hukum.
Lalu, siapa yang bertanggung jawab atas kegiatan dari Illegal logging ini. Pertanyaan ini bisa dijawab setelah ada suatu proses hukum, akan tetapi sebelum itu perlu ada suatu keberanian politik, hukum dan budaya untuk menyeret 1 (satu) orang/pihak yang terlibat illegal logging. Karena kejahatan telah terintegrasi, maka akan memudahkan pihak kepolisian dan kejaksaan mengungkap siapa-siapa yang terlibat. Sebagai ilustrasi, misalnya Si A tertangkap tangan masyarakat Parsoburan sedang menebangi hutan Doloknanggaraja dengan menggunakan singso, kemudian dibawa ke Polisi untuk dimintai keterangan. Setelah cukup bukti, Si A dijadikan sebagai Tersangka dengan tuduhan illegal logging dan dibuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP), selanjutnya diserahkan ke kejaksaan dan dilimpahkan ke pengadilan. Nah, dari rentetan pertanyaan pasti muncul beberapa nama, misalnya siapa pemilik modal atau yang mempekerjakan si A, kepada siapa kayunya dijual (penadah), siapa yang membantu, apakah ada keterlibatan oknum Polisi, oknum TNI, oknum pemerintah kecamatan, oknum kelurahan, bahkan oknum anggota DPRD. Dengan demikian, nama-nama tersebut dapat dijadikan Tersangka dengan tuduhan illegal logging, suap, korupsi atau penyalahgunaan jabatan (abuse of power), perbuatan melawan hukum oleh penguasa/pejabat (onrechtmatige overheidsdaad) dan selanjutnya.

VI. Pemberantasan Illegal Logging Melalui Penegakan Hukum
Praktek illegal logging merupakan biang kerok yang telah membuyarkan rumusan fungsi hutan di Indonesia dan bahkan telah menjelma menjadi ledakan sebuah sistem perusakan sumber daya hutan secara cepat, sistematis bahkan terorganisir. Sehingga, kejahatan illegal logging harus menjadi prioritas untuk segera diberantas. Opsi pemberantasan illegal logging dalam multi perspektif haruslah dipahami betul, baik dalam kajian teknis, politik maupun penegakan supremasi hukum (supremacy of law). Pemahaman secara holistik opsi pemberantasan illegal logging diharapkan menghasilkan sebuah solusi alternatif yang menyebabkan efek jera terhadap pelakunya.
Karena illegal logging telah masuk kedalam koridor tindak pidana kehutanan, opsi hukum yang paling tepat untuk menyelesaikan dan pemberantasan illegal logging. Tepat yang dikatakan Thomas Hobbes “….. but the major weapon is law itself” (tetapi senjata utamanya adalah hukum itu sendiri). Simbol hukum Dewi Themis dari Yunani yang selalu menutup matanya dengan kain sambil mengacungkan pedang bermata dua dan menjinjing timbangan, harus dicontoh aparat hukum untuk membasmi pelaku-pelaku illegal logging tanpa pandang bulu, apakah dia camat, lurah, kepala desa, polisi, tentara, anggota DPRD atau yang lain. Suatu keharusan dan kewajiban moral untuk menyeret setiap pelaku ke meja hijau dan menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.

VII. Pengaturan Illegal Logging
Untuk peristilahan, setidaknya ada dua peraturan perundangan yang menyebut Illegal logging sebagai penebangan kayu Ilegal yaitu Inpres Nomor 5 tahun 2001 Tentang Pemberantasan penebangan kayu illegal (illegal logging) Dan peredaran hasil hutan illegal di kawasan ekosistem Leuser dan taman nasional tanjung puting dan Inpres Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Di Kawasan Hutan Dan Peredarannya Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Untuk memudahkan, dalam makalah ini akan digunakan istilah penebangan kayu illegal (PKI).

Sebagai disampaikan diatas, aturan tentang Illegal logging tidak terdapat pada satu aturan perundangan saja. Dalam proses penelusuran ditemukan sekitar 150 peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan dan undang-undang terkait yang mengatur mengenai illegal logging,diantaranya :
UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
UU No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan dan Tumbuhan.
UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan.
PP No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru.
PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, dan
PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
Dengan menggunakan pendekatan fungsi hutan berdasarkan UU 41 Tahun 1999 Tentang kehutanan (UUK), dimana hutan dikelompokkan dalam tiga fungsi yaitu fungsi konserfasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Termasuk kedalam fungsi konserfasi, terdapat hutan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman buru . Maka aturan tentang PKI itu tersebar pada aturan kehutanan dalam lingkup konserfasi, lindung dan produksi.

Inpres Inpres Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Di Kawasan Hutan Dan Peredarannya Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia menginstruksikan kepada para pejabat terkait untuk melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, melalui penindakan terhadap setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan:
Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.
Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki dan menggunakan hasil hutan kayu yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.
Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu.
Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.


Bagan sederhana ini menggambarkan konstruksi logika aturan logging di Indonesia. Pada prinsipnya setiap penebangan kayu baik oleh swasta ataupun oleh masyarakat haruslah berdasarkan ijin yang diberikan oleh aparat yang berwenang, yang akan memberikan hak penebangan. Penebangan yang dilakukan tanpa adanya ijin akan menghasilkan kayu (log) yang ilegal dan pelakunya dapat dihukum pidana dan denda.

Tetapi setelah memperoleh hak menebang dari aparat yang berwenang, sipenerima ijin tidaklah dapat sesuka hatinya untuk menebang, mengangkut dan memasarkan kayu-kayu yang ada dalam areal ijinnya. Kayu yang dihasilkan tanpa mengikuti ketentuan tata niaga kayu akan berstatus kayu Ilegal sama dengan kayu yang dihasilkan dalam penebangan tanpa ijin. Namun demikian, kegiatan penebangan yang dilakukan tanpa mengikuti aturan tata niaga kayu nyaris luput dari penindakan seperti pada tindak pidana PKI. Akibatnya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan perusahaan-perusahaan yang mendapat hak menebang hampir-hampir luput dari perhatian. Titik tekan pemberantasan PKI hanyalah pada tindakan-tindakan orang-orang yang menebang kayu tanpa ijin.

Definisi sementara bagi kayu legal adalah; “ Kayu disebut sah jika kebenaran asal kayu, ijin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumentasi angkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindah-tanganannya dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan legal yang berlaku. Penyusunan pengertian kayu legal ini berada dalam lingkup kegiatan FLEGT.
Apabila melihat modus operandi (praktek atau cara-cara) dari kegiatan penebangan secara tidak sah (illegal logging) maka tindak pidana tersebut dapat dikategorikan telah menjadi rangkaian atau gabungan dari beberapa tindak pidana, atau tindak pidana berlapis. Beberapa tindak pidana tersebut antara lain:
Kejahatan terhadap keamanan Negara.
Kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan.
Kejahatan yang membahayakan keamanan umum.
Pencurian.
Alasan bahwa tindak pidana illegal logging dapat disebut sebagai kejahatan berlapis karena kejahatan tersebut bukan hanya semata-mata menyangkut ditebangnya sebuah pohon secara tidak sah dan melawan hukum. Akan tetapi juga menyebabkan negara menjadi tidak aman dengan munculnya keresahan masyarakat, tidak dilaksanakannya kewajiban melakukan perlindungan hutan namun justru melakukan tindakan merusak, termasuk menurunnya daya dukung lingkungan, rusaknya ekosistem dan hancurnya sistem kehidupan masyarakat lokal yang tidak dapat dipisahkan dengan hutan itu sendiri.
Illegal logging juga dapat disebut sebagai kejahatan terhadap hak-hak asasi manusia, terhadap lingkungan dan terhadap hutan itu sendiri.



KESIMPULAN
Illegal logging sebagai penebangan kayu yang melanggar peraturan perundangan. Sebagian kelompok menyebut Illegal logging dengan kata pembalakan liar, penebangan liar atau penebangan tanpa izin. Definisi sementara bagi kayu legal adalah; “ Kayu disebut sah jika kebenaran asal kayu, ijin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumentasi angkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindah-tanganannya dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan legal yang berlaku. Penyusunan pengertian kayu legal ini berada dalam lingkup kegiatan FLEGT. Penebangan yang dilakukan tanpa adanya ijin akan menghasilkan kayu (log) yang ilegal dan pelakunya dapat dihukum pidana dan denda.

SARAN
Perlu adanya kejelasan dan penegasan atas status lahan hutan negara, adat maupun hak milik. Selain akan menyebabkan pastinya kepemilikan lahan, akan menjadi jelas pula hasil hutan yang ditebang berasal dari mana. Hal ini tentunya harus dilakukan melalui pemetaan partisipatif dan hasilnya disetujui oleh semua pihak. Selain itu, untuk menghindari kriminalisasi terhadap masyarakat dalam operasi pemberantasan PKI, sudah menjadi keniscayaan bahwa konflik-konflik kehutanan dan tata batas hutan harus diselesaikan serta masalah-masalah kehutanan yang berakar dari kemiskinan petani gurem atas tanah di Jawa harus segera diselesaikan, karena kalau tidak, maka masalah-masalah kehutanan Jawa tidak akan terselesaikan.






Heru CN – Tempo News Room
http://web.id/2010/03/10/illegallogging/

0 komentar:

Posting Komentar