Cerpen: Bintang Biru Itu, Aku!!

|

BINTANG BIRU ITU, AKU!!



Surya begitu cepat berlalu, begitu cepat berganti dengan senja. Pergantian itu kurasakan sangat cepat, bagaikan daun yang tertiup angin. Sejak saat itu, sejuta rasa bersatu di hati ini. Detik demi detik, bahkan hari demi hari ku hitung perlahan. Apakah kematian itu akan merenggut semua milikku? Apakah mereka akan meninggalkan aku disaat aku membutuhkannya?
Entah apa yang terlintas dipikiranku? Rasa sakit ini semakin lama semakin melumpuhkan organ-organ tubuhku. Ia merenggut semua harapanku, semua cintaku, dan semua yang menjadi impianku. Mengapa ia datang disaat aku sedang diruang kebahagiaan? Apa orang sepertiku tak pantas mendapat kebahagiaan walaupun hanya sedetik kurasakan?
Senja semakin terbenam. Rembulan pun enggan muncul dari balik-balik awan. Hanya satu bintang yang tersenyum ramah kepadaku dimalam yang sunyi. Dan, hanya hembusan-hembusan angin yang menyapu dedaunan, seakan memecahkan kesunyian yang terjaga dimalam ini.

****

“Rey, kamu ngapain disini? Udara malam ini dingin banget, kamu kan lagi sakit, seharusnya kamu istirahat dirumah. Tuh kan, apalagi sekarang kamu nggak pakai jaket, gimana kamu mau sembuh?!” suara itu menghilangkan semua yang menjadi khayalanku. Suara Ivan benar-benar mengejutkanku. Aku hanya terdiam tanpa suara sepatahpun. Pandanganku tak pernah bergerak sedikitpun dari bintang yang cerah itu.
“Bintang, sebentar lagi…aku akan menemanimu di langit malam. Bintang, tunggu aku disana! Senyumlah kepadaku, jika nanti aku menghampirimu!” Semakin lama perkataanku semakin tak keruan. Entah apa yang sedang aku pikirkan? Banyak sekali hal-hal yang berbaur dpikiranku, bahkan telah ada beribu-ribu kata yang melintas di pikiranku.
“Rey, kamu ngomong apa sih? Rey, percaya deh sama aku kalau kamu pasti sembuh! Aku yakin, semua penyakit itu bisa kamu kalahkan! Rey, kamu dengar aku, kan?” kata Ivan –kekasihku- sambil memandangku dalam-dalam seakan ingin mencoba memahami apa yang sedang aku rasakan.
“Ivan, kalau saja penyakit ini nggak bisa terobati dan aku akan pergi jauh.. jauh sekali, meninggalkan kamu. Janji ya sama aku, kalau kamu nggak akan sedih! Van, kamu janji ya?” kataku sambil meneteskan airmata yang tak dapat ku bendung. Ivan pun segera mengusap airmata yang setetes demi setetes membasahi pipi ini.
“Iya, aku janji kalau aku akan selalu ada bersamamu. Udah ya, kamu nggak boleh nangis lagi! Senyum dong!” mendengar kata-kata itu, hatiku menjadi sedikit damai. Akupun tersenyum untuknya dan untuk sahabatku –bintang- yang selalu hadir di setiap malam-malamku yang beku ini. Aku dan Ivan melangkahkan kaki melewati parit-parit kecil di sepanjang jalan dan menelusuri rerumputan di sudut-sudut jalan.

****


Dear, Diary…


Ini adalah pertama kalinya aku menulis di buku harian. Diary ini adalah pemberian dari Tiara, sahabatku. Aku bernama Reyna, umurku 16 tahun. Aku memutuskan untuk mengisi diary ini, karena semakin lama aku merasa sendiri. Semakin lama dunia ini semakin kosong dan hampa, dan aku seakan terjebak didalam kegelapan tanpa setitik cahaya yang memancar kearahku. Aku bingung, apa yang harus kulakukan di saat-saat terakhir ini. Ku hanya dapat merangkai kata-kata yang selalu terlintas dibenakku ini.
Sudah sekitar 4 tahun, aku menderita penyakit leukemia. Tak ada seorang pun yang mengetahui tentang penyakitku ini, kecuali Ivan, kekasihku. Ia selalu ada disaat aku membutuhkannya. Tetapi akhir-akhir ini, sakit ini semakin lama semakin membuatku merasa gelisah dan bimbang. Dokter juga bilang, kalau penyakit ini tak akan bertahan lama, dan waktu ku hanya tinggal beberapa bulan saja. Walau bagaimanapun juga, aku tidak mau sampai ayah dan bunda tahu tentang penyakitku ini.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar kamarku.
“Rey, kamu sedang apa? Bisa buka pintunya sebentar, ada hal penting yang mau ayah bicarakan sama kamu!” ternyata suara yang terdengar itu adalah suara ayah. Tanpa pikir panjang, aku langsung menutup diaryku dan membuka pintu kamarku.
“Ada apa, yah?” tanyaku dengan heran sambil melihat wajah ayah yang penuh dengan keseriusan.
“Rey, tolong jawab pertanyaan ayah dengan jujur. Kata bunda, kamu selalu saja keluar dimalam hari?”
Pertanyaan ayah membuatku bingung dan terdiam sejenak. Entahlah, kata-kata apa lagi yang harus kuucapkan untuk berbohong kepada ayah? Saat ini, hatiku meronta dan menangis karena sudah cukup banyak aku membohongi ayah dan bunda, ingin rasanya untuk jujur, tetapi aku tidak akan pernah untuk melakukannya karena aku tidak mau melihat kebahagiaan kedua orangtuaku hilang hanya karena, aku! Lamunanku dibuyarkan oleh suara ayah yang sedang memanggilku berulang-ulang.
“Hmm, ayah.. maaf kalau selama ini aku sudah buat ayah sama bunda repot, tapi kalau malam hari, aku Cuma pergi ke taman kok, yah! Itu juga selalu ditemani oleh Ivan. Ayah tenang aja,ya! Aku nggak bakalan berbuat yang macam-macam kok, aku bisa jaga diri aku! Aku ke taman, Cuma pengin lihat bintang. Disana, pemandangannya indah kalau setiap malam, yah! Jadi, nggak ada yang perlu ayah khawatirin dari aku! Ayah tenang aja, ya! Percaya deh sama Reyna!” aku berusaha untuk memberi penjelasan kepada ayah supaya ayah tidak mencurigaiku.
“Ya udah, ayah percaya kok sama kamu. Kamu nggak berangkat ke sekolah, Rey? Kayaknya Ivan udah datang deh, dia lagi diluar nunggu kamu!”
“Oh, Ivan udah datang ya, yah? Ya udah deh, aku berangkat sekolah dulu! Dah… ayah!” kataku sambil meraih tas yang kuletakkan dikasur, lalu aku memeluk ayah dengan erat.
Kuturuni anak-anak tangga yang berbaris dan aku melihat Ivan sedang berbicara sangat akrab layaknya anak dengan ibu. “Aku nggak salah memilih kamu, Van!” kata hati kecilku. Sesampainya di ruang tamu, aku memeluk bunda dan mengucapkan selamat tinggal. “Bunda, aku sama Ivan berangkat sekolah dulu ya, bunda!”
“Iya, sayang… hati-hati ya, dijalan! Ivan, tante nitip Reyna, ya?” kata bunda yang sangat mengkhawatirkan aku.
“Ih, bunda… apa-apaan sih, aku kan udah gede! Masa, udah mau 17 tahun, aku nggak bisa jaga diri sendiri sih. Lagijuga, emangnya aku barang dagangan apa, yang bisa dititipin?! Ugh, bunda gimana sih? Ya udah, aku berangkat ya, nanti telat!”
“Tante, Ivan permisi dulu.” Kata Ivan yang mengakhiri percakapan ku dengan bunda. Lalu, mobilku melaju dengan kecepatan tinggi karena sudah hampir telat.

Sesampainya di sekolah, Tiara memegang rambutku. Tiba-tiba, ia terkejut dengan apa yang dilihatnya. Rambutku sudah mulai rontok, apa ini tandanya?
“Reyna, rambut elo?” tanya Tiara dengan heran. Aku sama sekali tak mempedulikan pertanyaan Tiara. Saat itu juga, aku segera berlari meninggalkan Tiara seorang diri. Semua pandangan beralih kepadaku, semua mata menatapku tajam dan penuh keheranan. Aku sudah tak mempedulikan mereka. Aku masih berlari, berlari, dan terus berlari menuju taman belakang.
Aku bersandar pada sebuah pohon persahabatan. Tak kuasa, aku meneteskan airmata ini. Setetes demi setetes berjatuhan membasahi pipi ini, bagai gerimis yang membasahi bumi. Pikiranku kosong dan melayang tak tentu arah. Harus dimana lagi ku pijakkan kaki ini? Harus dimana lagi, ku rebahkan tubuh ini?
Kuambil selembar kertas yang ada didalam tasku. Ku goreskan tinta ini membentuk suatu rangkaian kata-kata perpisahan.
Untuk sahabatku dan kekasihku…
Aku yakin, pasti kalian nggak akan lupa sama pohon persahabatan kita! Disini, pertama kalinya loh kita bersahabat dan berjanji akan selalu bersama. Kalian ingat kan?! Mungkin, disaat kalian baca surat ini… aku udah nggak ada bersama kalian lagi untuk selamanya! Maafin aku ya, selama ini aku selalu ngerepotin kalian berdua. Aku juga mau ngucapin makasih banget buat kalian, karena kalian udah mau bersahabat denagn aku yang penyakitan ini. Kalian nggak boleh nangis ya, kalau nanti aku pergi jauh! Kalian jangan sedih, anggap aja kalau aku lagi ngambek terus pergi nggak jelas kemana! Pokoknya, aku nggak mau ngeliat kalian sedih! Ingat, kalau kalian kangen sama aku… kalian datang aja ditempat terakhirku. Disana, kalian tatap 2 bintang yang berkelap-kelip memancarkan sinarnya. Dan, bintang yang bersinar kebiruan itulah aku, sedangkan disebelahnya adalah temanku disurga. Udah ya, Cuma ini aja yang bisa aku ucapin ke kalian berdua, kalian yang akur ya! Moga-moga aja, kalian bisa bersama!
Hmm…Ivan, aku Cuma mau ngasih tau kalau Tiara itu sayang banget sama kamu! Tapi, karena kamu udah jadian sama aku duluan, jadinya dia mendam perasaannya deh, sampe sekarang! Aku percaya kok sama kamu, Van! kalau kamu bisa ngebahagiain sahabatku, Tiara!
-Reyna –


“Eh, elo liat Reyna nggak?” tanya Tiara kepada salah satu temanku disekolahku.
“Oh, Reyna? Tadi, gue liat dia lari kearah taman gitu, deh!” jawab Andre, teman sekelasku. Mendengar aku berada ditaman, Tiara langsung berlari menuju taman dibelakang sekolah.
Setelah selesai aku memendam suratku di bawah pohon persahabatan ini. Tiba-tiba, aku terkejut dengan kedatangan Tiara yang sedang berada dibelakangku. “Rey, elo ngapain sih disini? Gue puyeng nih nyariin elo, mana cape banget lagi! Elo ngubur apaan tuh?” tanya Tiara sambil melihat-lihat tanah yang habis ku rapikan kembali.
“Oh itu, gue ngubur rambut gue yang rontok tadi! Emang kenapa?” jawabku singkat.
“Elo kok enteng banget sih ngomongnya? Hmm… maafin gue ya, tadi gue benar-benar nggak sengaja! Gue juga nggak tau kalau bakalan kayak begini jadinya!” kata Tiara sambil memelukku. Aku segera melepaskan pelukan Tiara.
“Udah ah, kok jadi elo sih yang cengeng! Nyantai aja, Ti. Gue nggak apa-apoa kok. Jangan berlebihan deh! Oh iya, 3 hari lagi gue sweet seventeen nih, elo mau ngadoin apa ke gue?” kataku.
“Kado? Kado apa ya? Upz… kayaknya enggak ada kado-kadoan deh! Di rayain nggak?”
“Ya engaklah, emang harus ya? Gue malas, ah! Ya udah, kita ke kelas, yuk!”
“Tapi, gimana sama rambut elo?”
“Ah, Cuma dikit doang. Nggak bakalan keliatan! Yuk!”
Aku melangkah bersama Tiara melewati lorong-lorong sekolah yang sangat panjang.

****

Detik demi detik kuhitung mundur, hari demi hari telah kulalui bersama orang-orang yang kusayang. Hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-17 tahun, aku bahagia sekali tetapi aku merasa kalau waktuku tidak akan bertahan lama. Selama ini, aku tidak melakukan terapi apapun yang dianjurkan oleh dokter, karena menurutku melakukan terapi hanya membuang-buang waktu saja. Dan, cepat atau lambat aku akan pergi dengan membawa penyakit ini.
Pagi ini, aku merasakan suatu hal yang berbeda dari biasanya. Mentari seakan enggan menyinari pagi ini. Dan, burung-burung pun semua terdiam membisu tanpa kicauan-kicauannya. Lagi-lagi, pikiranku melayang jauh. Entah pa yang sedang kulamunkan? Tiba-tiba, ku mendengar suara motor Ivan dari kejauhan. Ku lihat dari balik jendela, ternyata Ivan dengan Tiara. Mereka terlihat akrab sekali. Dan, pintu pun terketuk dengan perlahan. Saat ku hendak beranjak dari kursi ini, tiba-tiba…. PRANG! Tanpa sadar, aku terjatuh dan bingkai foto yang terletak disampingku terhempas hingga pecah berkeping-keping.

“Rey, Reyna! Kamu kenapa? Rey, bangun!” kata Tiara sambil menggoyangkan tubuhku. Aku pun tersadar dari tidurku yang singkat.
“Ti… Tiara… A… Aku dimana?” aku tak bisa berbicara dengan lancar. Tenggorokan ku seakan terjepit. Mataku sudah tak jelas untuk melihat. Tubuhku lemah seakan tak berfungsi lagi. “Ti… Tiara… aku dimana? Jawab Tiara!” aku memaksa Tiara untuk menjawab pertanyaanku.
“Rey, kenapa elo nggak ngomong sama gue tentang penyakit ini!” Tiara tak dapat menahan tangisannya. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Sesekali ia mengusap air mata yang membasahi pipinya yang mungil itu.
“Ti, elo kok nangis sih? Ya ampun, Ti… gue nggak sakit apa-apa kok! Gue sehat-sehat aja, elo nggak liat apa?! Lagijuga, tadi gue Cuma sedikit pusing terus pingsan deh! Nggak napa-napa kok! Loe tenang aja!” kataku dengan nada yang sangat lemah.
“Elo jahat ya, Rey? Gue udah tau semuanya tentang elo dari Ivan.” Tiara tak dapat melanjutkan kata-kata yang terlintas dipikirannya, ia hanya terdiam dan menangis.
“Oh, masalah itu. Kenapa sih dianggap serius banget? Ini Cuma penyakit ringan aja kok, nanti juga sembuh!”
“Rey, elo tuh ya! Selalu aja ngentengin masalah yang benar-benar serius. Gue nggak mau kehilangan elo, Rey! Kita semua tuh sayang sama loe! Apa maslah ini, udah elo certain sama ayah-bunda elo? Oh iya, selamat ulangtahun ya, Rey!” kata Tiara sambil meraih tangan kanan ku untuk dijabatnya.
“Thank’s ya, Ti! Eh… jangan, jangan, jangan! Gue nggak mau orangtua gue sampai tau masalah penyakit ini. Gue nggak mau ngerepotin mereka. Biarin nanti gue pergi tanpa beban sedikitpun! Gue nggak mau ngeliat mereka sedih, Ti. Please, gue mohon sama loe! Cuma elo dan Ivan yang tau tentang masalah ini.” Kataku sambil memohon.
“Tapi…”
“Udah ah, nggak usah pakai tapi-tapian! Oh iya, Ivan kemana?”
“Dia lagi pergi. Ya udah, elo istirahat dulu gih! Biar keliatan fit lagi! Gue balik ya? Elo nggak apa-apa kan, gue tinggal!”
“Ya, nggak apa-apalah! Hati-hati ya!”


****


Di keramangan Rembulan, aku duduk dengan tubuh yang sangat lemah. Kupandangi langi ini, seperti biasa hanya ada satu bintang yang selalu setia hadir dimalam yang sesunyi ini. Hanya hembusan anginyang selalu mengugurkan daun-daun kering dan menusuk tulangku. Aku berusaha untuk meraih kertas dan bolpoin yang terletak di meja riasku. Ku tulis dua buah surat untuk ayah-bunda, dan untuk Ivan-Tiara.
Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu dari luar kamarku. Kupaksakan diriku untuk melangkah menghampiri pintu. Ku buka pintu itu secara perlahan. Oh, GREAT! Ayah, bunda, Ivan, dan Tiara datang dengan membawa kue tart yang bertuliskan “Happy Birthday’s Reyna”. Tanpa terasa, airmata ini telah jatuh membasahi pipi. Satu per satu, mereka memberi ucapan selamat kepadaku. Selesai itu semua, aku mengajak Ivan ke taman untuk menemui sahabatku yaitu –bintang-.
“Van, anterin aku yuk’!” kataku dengan menggandeng tangan Ivan.
“Kamu mau kemana sih? Udah malam begini!” jawab Ivan.
“Aku mau ketaman tapi aku Cuma mau liat bintang kok, terus aku juga pengin berduaan sama kamu.” Kataku dengan nada yang sedikit manja.
“Ya udah, ayo! Hmm… tante, om, Ivan mau ngajak Reyna ketaman dulu!”
“Iya, hati-hati ya, Van!” kata bunda.
Sesampainya ditaman, aku langsung memandangi langit. Bintang itu tersenyum padaku. Aku ingat akan suatu hal. Jika bintang itu tersenyum, aku akan menghampirinya dan akan bersamanya menyinari jagad raya ini.
“Hei, kamu kok diam aja! Kamu marah sama aku, gara-gara aku ngasih tau tentang kamu ke Tiara?” tanya Ivan dengan lembut.
“Ya enggalah, aku fine-fine aja kok! Hmm… Ivan, aku mau nanya sama kamu.”
“Mau tanya apa?”
“Kalau seandainya aku pergi jauh meninggalkan kamu dan semua yang telah menjadi milikku. Apa kamu akan tetap menyayangi aku?”
“Kamu ngomong apaan sih? Ya jelaslah, aku akan tetap sayang sama kamu! FOREVER… jelas!” kata Ivan sambil mencium keningku.
“Makasih ya, Ivan. Hmm… aku mau kasih kamu sesuatu! Ini…” kataku sambil mengulurkan 2 buah amplop yang berisi surat untuk ayah-bunda, dan Ivan-Tiara.
“Apa ini, yank?”
“Ini surat buat kamu sama Tiara, terus satu lagi buat ayah dan bunda. Tapi, bacanya pas aku udah pergi, ya?”
“Kamu ngomong apa sih?”
“Udahlah, nggak usah dibahas lagi. Ivan, aku boleh bersandar di bahu kamu nggak? Aku capek nih!”
“Ya bolehlah.”
Hanya kata-kata itu yang menjadi kata terakhirku. Disanalah,aku menghembuskan nafasku yang terakhir dan memandangi langit malam yang mungkin tak akan bisa ku pandangi lagi.
“Rey, kita pulang yuk’! udah malam, kamu kan lagi sakit! Rey… Rey… bangun! Rey, bagun, Rey…” Ivan menguncang-guncangkan tubuhku yang sudah terbujur kaku. Saat itu, ia menyadari kalau aku telah pergi jauh bersama bintang. Ia langsung teringat suatu kata yang pernah aku ucapakan. Lihatlah bintang dilangit, jika dilangit ada dua bintang, bintang yang bercahaya biru, itulah –aku- kekasihmu!
Ivan langsung memandangi langit malam ini dan terlihat terdapat dua bintang yang saling kelap-kelip menyinari malam ini. Terlihat, terdapat salah satu bintang yang cahayanya berwarna biru. Ia langsung meneteskan airmata dan mengucapkan “Selamat Tinggal” kepadaku.
“Rey, aku akan selalu sayang sama kamu dan kamu akan selalu ada dilubuk hatiku, walau nanti aku akan mendapatkan seeorang, tetapi hanya kamulah yang benar-benar kucinta! Selamat jalan, sayangku!” itulah kata-kata yang Ivan ucapkan kepadaku. Dan, aku perlahan-lahan menghilang bersama bintang.
****

Seusai pemakaman, Ivan memberikan surat terakhirku.
“Om, tante, ini surat terakhir dari Reyna. Sebelum Reyna pergi, ia nitip surat ini ke Ivan.” Ivan langsung memberikan surat itu. Dibukanya dengan perlahan surat itu.


Ayah, Bunda…

Reyna minta maaf. Selama ini, udah banyak bohongin ayah sama bunda. Bukan maksud Reyna untuk menutupi semuanya, tapi Reyna benar-benar nggak mau bikin repot ayah saam bunda. Aku nggak mau karena penyakitku, semua orang kasihan kepadaku. Ayah, bunda… Reyna sayang banget sama kalian. Ya udah, ayah sama bunda jangan sedih ya! Reyna nggak mau ngelihat ayah sama bunda sedih. Oh iya, jika kalian kangen sama aku, kalian bisa melihat ku dilangit malam. Bintang yang bercahaya biru itu adalah aku. Ayah, bunda… aku mohon banget! Jangan sedih ya! Janji ya, ayah-bunda!
Reyna sayang kalian…


-Reyna-


Bunda jatuh lemas, setiap airmata yang jatuh, ia berusaha untuk mengusapnya dan berusaha untuk tersenyum.
“Ti… ini surat buat kita!” kata Ivan.






Ivan, Tiara…

Mungkin, sewaktu kalian baca surat ini, aku udah pergi jauh dari kalian berdua. Oh iya, aku juga nulis surat loh dibawah pohon persahabatan kita. Kalian baca ya! Hmm… aku udah nggak tau, apa yang harus kutuliskan. Aku udah kehabisan kata-kata. Yang jelas, aku minta maaf, karena selama ini aku udah ngerepotin kalian. Kalian jangan sedih ya!
Aku sayang kalian berdua….


-Reyna-


****

Sejak Ivan dan Tiara membaca surat dipohon persahabatan, mereka berdua akhirnya bersama hingga bertunangan. Ayah dan bunda pun tidak bersedih lagi karena mereka dapat melihat aku berkelip di langit menjadi bintang.

1 komentar:

novira loves thirteen mengatakan...

wah...suka nulis cerpen juga yeee
huebat

Posting Komentar